Salah satu aliran yang
mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang dilaksanakan di sekolah adalah
aliran psikologi kognitif. Aliran ini telah memberikan kontribusi terhadap
penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar. Berbeda dengan
pandangan aliran behavioristik yang memandang belajar sebagai kegiatan yang
bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, aliran kognitif memandang
kegiatan belajar bukanlah sekedar stimulus dan respon yang bersifat mekanistik,
tetapi lebih dari itu, kegiatan belajar juga melibatkan kegiatan mental yang
ada di dalam diri individu yang sedang belajar. Oleh karena itu, menurut aliran
kognitif, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai,
mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang tampak pada
manusia tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental seperti
motivasi, kesengajaan,
keyakinan, dan lain sebagainya (Baharuddin & Wahyuni, 2007: 88).
Meskipun pendekatan
kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik, tidak berarti psikologi
kognitif anti terhadap aliran behaviorisme. Hanya, menurut para ahli psikologi
kognitif, aliran behaviorisme itu tidak lengkap sebagai sebuah teori psikologi,
sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi ranah cipta seperti
berpikir, mempertimbangkan pilihan dan mengambil keputusan. Selain itu, aliran
behaviorisme juga tidak mau tahu urusan ranah rasa.
Menurut perspektif
psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan
peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat
behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa.
Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis,
misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan)
untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan
kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata
respons atas stimulus (rangsangan) yang ada, melainkan yang lebih penting
karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya (Syah, 1999: 111).
Pandangan kognitivisme
ini membawa kepada sebuah pemahaman bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara
pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan, yakni belajar. Bahkan,
perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif
memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu, proses
pembelajaran juga sangat berkaitan erat dengan pembentukan dan penggunaan
kemampuan berpikir. Peserta didik akan lebih mudah mencerna konsep dan ilmu
pengetahuan apabila di dalam dirinya sudah ada struktur dan strata intelektual,
sehingga ketika ia berhadapan dengan bahan atau materi pembelajaran, ia mudah
menempatkan, merangkai dan menyusun alur logis, menguraikan dan mengobjeksinya.
Beberapa teori belajar
berdasarkan aliran kognitif ini antara lain teori gestalt, teori medan, teori
perkembangan Piaget, teori belajar bermakna Ausubel, teori penemuan
Bruner dan teori kognitif Bandura.
1) Teori Gestalt
Psikologi kognitif
muncul dipengaruhi oleh psikologi gestalt, dengan tokoh-tokohnya seperti Max
Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Para tokoh gestalt ini belum
merasa puas dengan penemuan-penemuan para ahli sebelumnya yang menyatakan bahwa
belajar sebagai proses stimulus dan respons serta manusia bersifat mekanistik.
Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para tokoh gestalt lebih menekankan
pada persepsi. Menurut mereka, manusia bukanlah sekedar makhluk yang hanya bisa
bereaksi jika ada stimulus yang mempengaruhinya. Tetapi lebih dari itu, manusia
adalah makhluk individu yang utuh antara rohani dan jasmaninya. Pada saat
manusia bereaksi dengan lingkungannya, manusia tidak sekedar merespons, tetapi
juga melibatkan unsur subyektivitasnya yang antara masing-masing individu dapat
berlainan (Baharuddin & Wahyuni, 2007: 88).
Menurut teori gestalt,
belajar adalah proses mengembangkaninsight (wawasan,
pengertian/pengetahuan). Insight ini adalah pemahaman terhadap
hubungan antarbagian di dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda dengan teori
behavioristik yanng menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat
mekanistis sehingga mengabaikan atau mengingkari pernanan insight,
teori gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari
pembentukan tingkah laku (Sanjaya, 2006: 118). Hal ini sesuai dengan hukum yang
terkenal dari teori gestalt yaitu hukum pragnanz. Pragnanz ini
lebih kurang berarti teratur, seimbang, dan harmonis. Belajar adalah mencari
dan mendapatkan pragnanz, menemukan keteraturan, keharmonisan dari
sesuatu. Untuk menemukan pragnanz diperlukan adanya pemahaman
(insight).
Menurut Ernest
Hilgard, ada enam ciri dari belajar pemahaman (insight), yaitu: (1)
pemahaman dipengaruhi oleh kemampuan dasar, (2) pemahaman dipengaruhi oleh
pengalaman belajar yang lalu, (3) pemahaman tergantung kepada pengaturan
situasi, (4) pemahaman didahului oleh usaha coba-coba, (5) belajar dengan
pemahaman dapat diulangi, dan (6) suatu pemahaman dapat diaplikasikan bagi
pemahaman situasi lain (Sukmadinata, 2007: 171).
2) Teori Medan (field
theory)
Teori medan (field
theory) merupakan salah satu teori yang termasuk rumpun kognitif. Teori
medan ini dikembangkan oleh Kurt Lewin. Sama seperti teori gestalt yang
menekankan keseluruhan dan keterpaduan. Menurut teori medan, individu selalu
berada dalam suatu medan atau ruang hidup (life space), yang digambarkan
oleh Kurt Lewin sebagai berikut:
Dalam medan hidup ini
ada sesuatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi untuk mencapainya selalu saja
ada barier atau hambatan. Individu memiliki satu atau sejumlah
dorongan dan berusaha mengatasi hambatan untuk mencapai tujuan tersebut.
Apabila individu tersebut telah berhasil mencapai tujuan, maka masuk ke dalam
medan atau lapangan psikologis baru yang di dalamnya berisi tujuan baru dengan
hambatan-hambatan baru pula. Demikian seterusnya individu keluar dari suatu
medan dan masuk ke dalam medan psikologis berikutnya (Sukmadinata, 2007: 171).
Kaitannya dengan
proses belajar, dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa teori medan
menganggap belajar sebagai proses pemecahan masalah. Menurut Lewin (Sanjaya,
2006: 120), beberapa hal yang berkaitan dengan proses pemecahan masalah dalam
belajar adalah:
a) Belajar adalah
perubahan struktur kognitif. Setiap orang akan dapat memecahkan masalah jika ia
bisa mengubah struktur kognitif. Permasalahan yang sering dijadikan contoh
adalah sebagai berikut:
Orang yang melihat sembilan buah titik
tersebut sebagai sebuah bujur sangkar akan sangat sulit memecahkan persoalan
tersebut. Agar sembilan buah titik dapat dilewati dengan 4 buah tarikan garis,
maka harus mengubah struktur kognitif bahwa kesembilan buah titik itu bukan
sebuah bujur sangkar.
b) Pentingnya motivasi.
Motivasi adalah faktor yang dapat mendorong setiap individu untuk berperilaku.
Motivasi ini dapat berasal dari dalam (intern) dan dari luar (ektern).
3) Teori Perkembangan
Piaget
Kaitannya dengan
perkembangan kognitif, seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi
kognitif dan psikologi anak, Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap yang harus
dilalui seorang anak dalam mencapai tingkatan perkembangan proses berpikir
formal. Teori ini tidak hanya diterima secara luas dalam bidang psikologi
tetapi juga sangat besar pengaruhnya di bidang pendidikan
(http://www.e-psikologi.com). Keempat tahapan itu adalah:
a) Tahap
sensori-motor dari lahir hingga 2 tahun. Anak mengalami dunianya melalui gerak dan
inderanya serta mempelajari permanensi obyek. Seorang anak sedikit demi sedikit
mengembangkan kemampuannya untuk membedakan dirinya dengan bena-benda lain.
b) Tahap
pra-operasional dari 2 hingga 7 tahun. Anak mulai memiliki kecakapan motorik. Pada masa ini
anak menjadi pusat tunggal yang mencolok dari suatu obyek. Misalnya seorang
anak melihat benda cair yang sama banyak tetapi yang sat berada dalam gelas
panjang dan satu lagi berada di cawan datar, dia akan mengatakan bahwa air di
gelas lebih banyak dari pada air di cawan datar.
c) Tahap operasional
konkret dari 7 hingga 11 tahun. Anak mulai berpikir secara logis tentang
kejadian-kejadian konkret. Anak sudah dapat membedakan benda yang sama dalam
kondisi yang berbeda.
d) Tahap operasional
formal setelah usia 11 tahun. Pada masa ini anak mulai memasuki dunia “kemungkinan”
dari dunia yang sebenarnya atau anak mengalami perkembangan penalaran abstrak
(http://id.wikipedia.org).
Kecepatan perkembangan
setiap individu melalui urutan setiap tahap tersebut berbeda dan tidak ada
individu yang melompati salah satu dari tahap tersebut. Tiap tahap ditandai
dengan munculnya kemampuan-kemampuan intelektual baru yang memungkinkan orang
memahami dunia dengan cara yang semakin kompleks (Trianto, 2007b: 22). Hal ini
berarti bahwa perkembangan kognitif seseorang merupakan suatu proses genetik.
Artinya, perkembangan kognitif merupakan proses yang didasarkan atas mekanisme
biologis dari perkembangan sistem syaraf. Semakin bertambah umur seseorang,
maka semakin kompleks susunan sel syarafnya dan semakin meningkat pula
kemampuannya (Muhaimin, 2002: 199).
Berdasarkan hal
tersebut, Jean Piaget berpandangan bahwa pada dasarnya setiap individu sejak
kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subyek, maka akan menjadi pengetahuan
yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses
pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan
tersebut hanya untuk diingat sementara, setelah itu dilupakan (Sanjaya, 2006:
122).
Kaitannya dengan proses
belajar, Piaget membagi proses belajar menjadi tiga tahapan, yaitu asimilasi,
akomodasi, dan equilibrasi. Asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian)
informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak peserta didik.
Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif dalam situasi yang baru.
Sedangkan equilibrasi adalah proses penyesuaian berkesinambungan antara
asimilasi dan akomodasi.
Apabila seseorang
menerima informasi atau pengalaman baru, informasi tersebut akan dimodifikasi
sesuai dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya. Proses ini disebut
asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitif yang harus disesuaikan dengan
informasi yang diterima, maka hal ini disebut akomodasi. (Muhaimin, 2002: 199).
Uraian tersebut di
atas memberi sebuah pemahaman bahwa inti dari pemikiran Piaget tentang proses
belajar seseorang adalah mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan tertentu
sesuai dengan umurnya (Muhaimin, 2002: 200).
4) Teori Belajar Bermakna
Ausubel
Menurut David P.
Ausubel, secara umum kelemahan teori belajar adalah menekankan pada belajar
asosiasi atau menghafal, dimana materi asosiasi dihafal secara arbitrase.
Padahal, belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna. Materi yang
dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah
dimiliki dalam struktur kognitifnya (Muhaimin, 2002: 201).
Ausubel memisahkan
antara belajar bermakna dengan belajar menghafal. Ketika seorang peserta didik
melakukan belajar dengan menghafal, maka ia akan berusaha menerima dan
menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna. Hal ini
berbeda dengan belajar bermakna, dimana dalam belajar bermakna ini terdapat dua
komponen penting, yaitu bahan yang dipelajari, dan struktur kognitif yang ada
pada individu. Struktur kognitif ini adalah jumlah, kualitas, kejelasan dan
pengorganisasian dari pengetahuan yang sekarang dikuasai oleh individu.
Agar tercipta belajar
bermakna, maka bahan yang dipelajari harus bermakna: istilah yang mempunyai makna,
konsep-konsep yang bermakna, atau hubungan antara dua hal atau lebih yang
mempunyai makna. Selain itu, bahan pelajaran hendaknya dihubungkan dengan
struktur kognitifnya secara substansial dan dengan beraturan. Substansial
berarti bahan yang dihubungkan sejenis atau sama substansinya dengan yang ada
pada struktur kognitif. Beraturan berarti mengikuti aturan yang sesuai dengan
sifat bahan tersebut (Sukmadinata, 2007: 188)
Selaras dengan uraian
tersebut, menurut Reilly dan Lewis, belajar memerlukan persyaratan tertentu,
yaitu (1) isi pembelajaran dipilih berdasarkan potensi yang bermakna dan diatur
sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik serta tingkat pengalaman masa
lalu yang pernah dialaminya; dan (2) diciptakan situasi belajar yang lebih bermakna.
Dalam hal ini, faktor motivasi memegang peranan penting karena peserta didik
tidak akan mengasimilasikan isi pembelajaran yang diberikan atau yang diperoleh
apabila peserta didik tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana cara
melakukan kegiatan belajar (Muhaimin, 2002: 201).
Lebih lanjut,
karakteristik dari teori belajar bermakna adalah pengaturan kemajuan belajar (advance
organizers). Pengaturan kemajuan belajar ini merupakan kerangka dalam
bentuk abstrak dari apa yang harus dipelajari dan hubungannya dengan apa yang
ada pada struktur kognitif yang dimiliki peserta didik. Apabila dirancang
dengan baik, advance organizers akan mempermudah peserta didik
mempelajari isi pembelajaran karena kegiatannya sudah diarahkan. Hubungan
dengan apa yang telah dipelajari dan adanya abstrak atau ringkasan mengenai apa
yang dipelajari menyebabkan isi pembelajaran yang baru bukan dipelajari secara
hafalan, melainkan sebagai kelanjutan yang merupakan kesatuan (Muhaimin, 2002:
202).
Singkatnya, inti dari
teori David P. Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna, yaitu suatu
proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat
dalam struktur kognitif seseorang (Trianto, 2007: 25).
5) Teori Penemuan Bruner
Salah satu teori
belajar kognitif yang sangat berpengaruh adalah teori Jerome Bruner yang
dikenal dengan belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap
bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh
manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Berusaha sendiri
untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya,
menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Trianto, 2007: 26)
Menurut Bruner,
belajar akan lebih bermakna bagi peserta didik jika mereka memusatkan
perhatiannya untuk memahami struktur materi yang dipelajari. Untuk memperoleh
struktur informasi, peserta didik harus aktif di mana mereka harus
mengidentifikasi sendiri prinsip-prinsip kunci dari pada hanya sekedar menerima
penjelasan dari guru. Oleh karena itu guru harus memunculkan masalah yang
mendorong peserta didik untuk melakukan kegiatan penemuan (Trianto, 2007b: 33).
Selain ide tentang
belajar penemuan (discovery learning), Bruner juga berbicara
tentang adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Bruner
menyatakan bahwa perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap
yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan. Pertama, tahap enaktif,
dimana individu melakukan aktifitas dalam upaya memahami lingkungannya. Kedua, tahap ekonit,
dimana individu melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.Ketiga, tahap simbolik,
dimana individu mempunyai gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan
logika berpikirnya. Komunikasi dalam hal ini dilakukan dengan pertolongan
sistem simbol (Muhaimin, 2002: 200).
Lebih lanjut, Bruner
juga menyatakan bahwa pembelajaran sesuatu tidak perlu menunggu sampai
seseorang mencapai suatu tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan
pembelajaran yang diberikan diatur dengan baik, seseorang dapat belajar
meskipun umurnya belum memadai. Seseorang dapat belajar apapun asalkan materi
pembelajaran disusun berdasarkan urutan isi dimulai dari yang sederhana dan
sesuai dengan karakteristik perkembangan kognitifnya. Artinya, perkembangan
kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menata strategi
pembelajarannya sesuai dengan isi bahan yang akan dipelajari dan tingkat
perkembangannya (Muhaimin, 2002: 201).
6) Teori Kognitif Bandura
Albert Bandura
mengatakan bahwa belajar itu lebih dari sekedar perubahan perilaku. Belajar
adalah pencapaian pengetahuan dan perilaku yang didasari oleh pengetahuannya
tersebut (teori kognitif sosial). Prinsip belajar menurut Bandura adalah usaha
menjelaskan belajar dalam situasi alami. Hal ini berbeda dengan situasi di
laboratorium atau pada lingkungan sosial yang banyak memerlukan pengamatan
tentang pola perilaku beserta konsekuensinya pada situasi alami (Djaali, 2007:
93).
Menurut Bandura,
sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat
tingkah laku orang lain. Seorang belajar dengan mengamati tingkah laku orang
lain (model), hasil pengamatan itu kemudian dimantapkan dengan cara
menghubungkan pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya atau mengulang-ulang
kembali. Melalui jalan pengulangan ini akan memberi kesempatan kepada orang
tersebut untuk mengekspresikan tingkah laku yang dipelajarinya (Trianto, 2007b:
31).
Bandura juga
menyatakan bahwa perilaku seseorang dan lingkungan itu dapat dimodifikasi. Buku
tidak berpengaruh pada seseorang, kecuali ada orang yang menulisnya dan orang
yang memilih untuk membaca. Oleh karena itu, hadiah atau hukuman tidak akan
banyak bermakna, kecuali diikuti oleh lahirnya perilaku yang diharapkan.
Diperolehnya perilaku yang kompleks bukan hanya disebabkan oleh hubungan dua
arah antara pribadi dan lingkungan, melainkan hubungan tiga arah antara
perilaku – lingkungan – peristiwa batiniah (reciprocal determinism/ determinasi
timbal balik). Contoh: seorang yang telah berlatih, akan timbul perasaan
percaya diri. Perilakunya menimbulkan reaksi baru, yang pada akhirnya reaksi
ini mempengaruhi kepercayaan dirinya yang kemudian menimbulkan perilaku
berikutnya dan dapat melukiskan perilaku yang baru itu, meskipun dia tidak
melakukannya (Djaali, 2007: 94).
DAFTAR PUSTAKA
Baharudin &
Wahyuni, Esa Nur, 2007, Teori Belajar dan Pembelajaran,Yogyakarta:
Ar-Ruz Media,
Djaali, 2007, Psikologi
Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara
Muhaimin, et.al., 2002, Paradigma
Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Cet.
II, Bandung: Remaja Rosda Karya
Syah, Muhibbin,
1999, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. IV Bandung:
Remaja Rosdakarya
Sukmadinata, Nana
Syaodih, 2007, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Cet. IV,
Bandung: Remaja Rosdakarya
Sanjaya, Wina,
2006, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
Jakarta: Kencana
Trianto, 2007, Model-model
Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik; Konsep, Landasan
Teoritis – Praktis dan Implementasinya, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher
-----------,
2007b, Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek, Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher
“Mengenal
Beberapa Tokoh Psikologi” dalam http://www.e-psikologi.com/lainlain /tokoh.htm#duabelas
“Jean Piaget”
dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Jean_Piaget
Tidak ada komentar:
Posting Komentar